04.54

Rezim Saudagar

Pada 4 September lalu terjadi pergantian Kabareskrim Mabes Polri dari Komjen Budi Waseso (Buwas) kepada Komjen Anang Iskandar. Keduanya bertukar jabatan. Komjen Buwas menggantikan Komjen Anang menempati posisi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Pergantian Kabareskrim itu dikatakan sebagai pergantian (rotasi) biasa di tubuh Polri. Sebanyak 71 perwira juga dirotasi bersamaan dengan rotasi itu.

Dipertanyakan Nalar masyarakat mencerna agaknya hal itu bukan pergantian biasa. Pergantian

Kabareskrim itu tidak bisa dilepaskan dari “campur tangan”. Pasalnya, penggantian itu tidak dilakukan sebelumnya saat desakan juga terjadi begitu kuat. Pergantian itu dilakukan setelah terjadi dua kasus. Pertama: Buwas menyatakan bahwa di antara 19 orang capim KPK ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, hingga Pansel Capim KPK menyelesaikan tugas, nama itu tak pernah diumumkan. Kedua: Penggeledahan Kantor Pelindo II pada tanggal 28 Agustus terkait kasus korupsi mobile crane. Saat penggeledahan itu, Dirut Pelindo II Richard Joost Lino atau biasa dipanggil RJ Lino bertelepon dengan Kepala Bappenas Sofyan Djalil. Saat itu Lino meminta Sofyan untuk menyampaikan kepada Presiden bahwa cara yang dilakukan Bareskrim tidak benar. Ia pun mengancam, jika tidak maka ia besoknya akan mundur. Nyatanya, hingga sekarang ia tidak mundur. Sebaliknya, Komjen Buwas terpental dari jabatan Kabareskrim. Pasca kejadian itu, Menteri BUMN Rini Soemarno dikabarkan oleh media menelepon Kapolri. Dua hari setelah penggeledahan, Wapres JK menelepon Komjen Buwas. JK meminta Bareskrim berhati-hati dalam menyidik kasus itu. Dia menilai kasus itu sebagai kasus perdata, bukan pidana. JK menyampaikan bahwa sesuai instruksi Presiden Jokowi, kasus dugaan korupsi yang menimpa korporasi tidak bisa langsung dipidanakan. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Seperti dikutip Tempo.co (5/9), JK mengatakan, "Saya bilang kepada dia (Budi Waseso) bahwa kalau kebijakan korporasi, ya jangan dipidanakan. Itu prinsip yang telah kita pakai dan sesuai dengan aturan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan." Pada Selasa (1/09/2015) malam, Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla (JK) memanggil Kapolri Badrodin Haiti ke Istana Presiden. Dipercaya topik pembicaraannya mencakup masalah tersebut, termasuk posisi Kabareskrim. Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan melontarkan kemungkinan akan adanya pejabat yang dicopot. Ia juga melontarkan bahwa kebijakan tidak boleh membuat gaduh yang bisa memperlambat laju ekonomi. Berikutnya, seperti diberitakan Kompas.com (3/9), Menko Polhukam membenarkan adanya kemungkinan pergeseran perwira tinggi di tubuh kepolisian dalam waktu dekat. Melihat runutan peristiwa itu, masyarakat percaya bahwa pergantian Kabareskrim itu tidak semata rotasi biasa. Pemberantasan Korupsi Kembali Terhenti? Muncul kekhawatiran, kasus korupsi yang saat ini sedang ditangani Bareskrim akan terpengaruh atau bahkan berhenti, termasuk kasus mobile crane. Kasus mobile crane di Pelindo II diperkirakan merugikan negara Rp 54 miliar. Menurut Komjen Buwas, kasus mobile crane itu tidak sesederhana yang dibayangkan oleh masyarakat. Buwas menegaskan kasus dugaan korupsi itu bisa merembet ke persoalan dugaan korupsi lain yang nilainya jauh lebih besar. "Kasus sampingannya lebih spektakuler lagi, nilainya bisa triliunan." (Tempo.co, 5/9). Selain itu, menurut Buwas, saat ini penyidik Kepolisian tengah mengusut sembilan kasus besar terkait korupsi. Bahkan menurut Buwas, ada kasus yang nilainya terbilang sangat besar. "Ada satu kasus yang nilainya Rp 180 triliun, tetapi pengusutannya masih saya tunda. Itu sangat spektakuler. Kalau saya lakukan, ada yang akan panas-dingin," kata Buwas (Tempo.co, 5/9). Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Victor Simanjuntak sebelum diganti, perkara tersebut menyangkut orang kuat, baik pejabat tinggi negara ataupun pihak swasta (Kompas.com, 4/9). Selain sembilan kasus itu, Buwas menyebutkan masih ada 67 kasus korupsi yang datanya dipegang oleh Bareskrim Polri (Kompas.com, 5/9). Ada kekhawatiran, penanganan kasus-kasus korupsi itu—terutama yang melibatkan atau terkait dengan orang kuat baik secara politik atau ekonomi—akan terhenti. Salah satunya dengan alasan memperburuk kondisi yang bisa memperlambat laju ekonomi. Jika itu terjadi, jelas masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini akan makin suram. Menyalahi Islam Selain bisa menyebabkan masa depan pemberantasan korupsi makin suram, “tebang-pilih” dalam kasus kriminal, termasuk korupsi, menyalahi Islam. Pasalnya, Islam menetapkan asas persamaan di muka hukum. Lebih dari itu, penegakan hukum secara pilih-pilih akan membawa malapetaka bagi negeri ini. Aisyah ra. menuturkan bahwa kaum Quraisy pernah terguncang dengan perkara seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri. Seseorang berkata, “Siapa yang bisa berbicara kepada Rasulullah saw.?” Mereka berkata, “Tidak ada orang yang berani melakukan itu kecuali Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw. Lalu Usamah berbicara kepada beliau. Beliau lalu bersabda, “Apakah engkau memintakan pengampunan dalam salah satu had di antara hudûd (hukuman) Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berpidato: « إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا » Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian karena mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah di antara mereka mencuri, mereka tegakkan had. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan an-Nasa’i). Karena itu Rasul saw. memerintahkan agar hukum ditegakkan terhadap siapa saja, termasuk terhadap orang-orang dekat dan orang-orang kuat secara politik ataupun ekonomi. Rasul saw. bersabda: « أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِى الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ فِى اللَّهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ » Tegakkanlah oleh kalian hudûd Allah atas orang dekat atau jauh dan janganlah celaan para pencela menghalangi kalian.” (HR Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi). Rezim Saudagar Pergantian Kabareskrim itu juga mengisyaratkan betapa eratnya hubungan penguasa dengan para pemilik kekuatan ekonomi atau para saudagar/pengusaha. Bahkan terasa bahwa para saudagar/pengusaha itu bisa mempengaruhi kebijakan penguasa. Itu menandakan “rezim saudagar” atau istilah kerennya “korporatokrasi” benar-benar terjadi di negeri ini. Rezim saudagar itu berbahaya bagi negeri ini dan akan merugikan rakyat. Di antara bahayanya, kebijakan penguasa bisa dipengaruhi oleh para saudagar/pengusaha atau kapitalis. Akibatnya, lahirlah banyak kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan para saudagar/kapitalis, bukan berpihak pada kepentingan rakyat. Penegakan hukum pun bisa mereka pengaruhi, bahkan mereka setir. Jika menyerempet mereka, upaya penegakan hukum akan dihentikan dengan berbagai alasan, termasuk alasan mengganggu perekonomian. Rezim saudagar juga membawa bahaya lainnya, yaitu penanganan urusan rakyat dikelola dengan menggunakan logika saudagar (baca: logika bisnis). Rakyat diposisikan layaknya konsumen (pembeli) yang harus membayar berbagai pelayanan negara. Sebaliknya, negara diposisikan layaknya penyedia/penjual barang dan jasa. Pengelolaan urusan rakyat pun dijalankan dengan logika untung-rugi. Jika dianggap beban maka akan dihilangkan, seperti subsidi. Ini jelas bertentangan dengan Islam. Penguasa: Pelayan Rakyat Dalam Islam tugas dan kewajiban penguasa adalah memelihara kemaslahatan rakyat. Pengelolaan urusan rakyat harus dikelola berrdasarkan prinsip ri’âyah (melayani rakyat). Yang menjadi perhatian utama adalah memberikan kemaslahatan terbaik untuk seluruh rakyat tanpa kecuali. Penguasa akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu. Rasul saw. bersabda: «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari). Penguasa yang senantiasa mengurus dan melayani rakyat itu hanya bisa terwujud jika pengelolaan urusan rakyat dijalankan sesuai syariah Islam dan dalam sistem pemerintahan Islam. Penguasa pun dipilih berdasarkan asas Islam dan sesuai dengan aturan Islam. Semua itu berarti mengharuskan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang mendesak untuk sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim, terutama di negeri ini, yang tengah didera oleh aneka problem tak berkesudahan, termasuk masalah rezim saudagar. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 771, 27 Dzulqa’dah 1436 H – 11 September 2015 M] [www.visimuslim.com]