2:57AM WJBT{waktu jepang bagian tengah}..
Malam ini ku nggak bisa tidur..bukan karena adanya nyamuk yang biasa mengganggu ku ketika mu masih di indonesia parean silam,di jepang daerah ku asli nggak ada nyamuk yang nyatroni saban malam,pa lagi musim dingin disini di jamin nggak ada serangga yang berkeliaran di malam hari ..teuing pada kabur kamana tuh serangga yang di peertengahan musim panas suaranya mendengerik ngerik berisik banget..
Padahal barusan aku lelah pulang kerja malam..napa mata ini susah banget ku pejamkan yah..
Ouww malam2 begini pikiranku asyik mengenang masa silam..masa 2 tahun lebih yang lalu..ketika terkahir ibuku dan babehku melambaikan tangannya melepas kepergianku
masih jelas ku ingat begitu pilaunya wajah ibuku saat itu,bener2 mimik wajahnya nggak pernah ku lihat sebelumnya,Bandara Internasional Soekarno Hatta 24september 2006,22:15 PM Jembatan penghubung Jepang Indonesiaku.
Saat memilukan bagiku,,
Ketika orang 2 yang kusayangi kutinggalkan dalam jangka waktu yang lama,saat detik terakhir kepergianku itu,ada suatu tempat yang merupakan tempat terkhir perjumpaan aku ma keluargaku,yaitu bagian counter Imigrasi bagian pemeriksaan barang,saat itu selain penumpang pesawat garuda GA880 tujuan jakarta-tokyo narita,nggak boleh memasuki,untunglah sekat yang memisahkan itu terbuat dari kaca transparan sehingga saat terakhir kami nggak begitu tragis he he,ayah bunda bersama rombongan lain masih bisa melihat aku dengan lambaian tangannya..sambil berjalan menuju tempat untuk menunggu pesawat ku masih padangi bunda ma babeh..selamat Tinggal bunda,doakan anakmu ini ,3 tahun disini ku takkan melupakan kasih sayang bunda ayahanda dan semua nasehat..dan ku masih seperti dulu..wah ngantuk nihhh..
Semuanya Tampak Lebih Indah Bila telah melalui semuanya..Memetik hasil dari Sebuah ikatan silaturrahmi...
Lencana Facebook
Mengenai Saya
buku Tamu
Categories
- alislam (1)
- dunia islam (1)
- indonesia (1)
- indramayu (1)
- kpk (1)
- lee mans (1)
- moto go (1)
- moto gp perancis (1)
- mudik2016 (1)
- pantura (1)
- politik (1)
- suzuki (1)
- yamaha (1)
Blog Archive
Di SMK PGRI Kandanghaur Guru Sebagai Teman dan Kakak |
Minggu, 05 Oktober 2008 | |
Korban Kritis Capai 60 Orang, Penjual Ikut Jadi Korban Denpatrol.com, INDRAMAYU– Seperti perkiraan sebelumnya, minuman keras (miras) beracun masih beredar luas di masyarakat. Miras penebar maut yang dikenal dengan Vodka Blending itu kembali merenggut nyawa, pada Hari Raya Lebaran di saat kebiasaan warga mengonsumsi minuman beralkohol kembali memuncak seiring banyaknya pemudik. Tradisi itu juga kerap dilakukan oleh para nelayan yang baru saja pulang dari merantau. Tak sadar yang diminum mengandung racun, empat orang nelayan asal Desa Eretan Wetan Kecamatan Kandanghaur meregang nyawa usai menggelar pesta miras di malam takbiran. Ketiganya adalah Beni bin Dulgani (18), Rusdi bin Ramun (17), Herman bin Durahman (32) dan adiknya Heryanto bin Durahman (26). Beni meninggal Jumat (3/10) saat dibawa ke RS Permata Medical Center (PMC) Indramayu sekitar pukul 09.25. Menyusul Rusdi yang tewas saat diajak berangkat keluarganya berlayar di daerah Penimbang, Banten. Herman, menjemput ajal sehari sebelumnya Kamis (2/10) di kediamannya. Sedangkan, Heryanto meninggal dalam perawatan medis di Rumkit Bhayangkara tadi malam, pukul 23.00. Sementara itu, puluhan nelayan lainnya masih dalam kondisi kritis diduga akibat mengonsumsi miras beracun. Para korban, dilarikan ke sejumlah RS yang ada di Indramayu. Data yang dihimpun Radar, sampai tadi malam sebanyak 60 orang dilarikan ke RSU Pantura MA Sentot (RSUP MAS) Patrol. Dua di antaranya adalah perempuan. Seluruh pasien berasal dari daerah nelayan yakni Desa Eretan Wetan yang pulang mudik dari perantauan. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah seiring masih dilakukannya proses evakuasi para korban oleh aparat pemerintah, kepolisian dan masyarakat setempat. Semula, dari pagi hingga sore jumlah pasien hanya 13 orang yang berbondong-bondong dilarikan ke RS yang berada di tepi jalan raya Pantura Patrol itu. Namun, menjelang malam hari, korban keracunan miras yang dirujuk, jumlahnya membeludak hampir tiga kali lipatnya. Pantauan Radar, mereka datang secara bergelombang sejak pukul 19.00 hingga 23.00 malam dengan di antar anggota keluarganya masing-masing. Ada yang menggunakan sepeda motor, becak, ambulans milik puskesmas maupun mobil carteran. Saking banyaknya pasien, ruangan rawat inap semuanya terisi. Bahkan, ruang dapur terpaksa disulap guna menampung puluhan korban yang datang belakangan. Seluruh petugas medis yang sedang lepas piket terpaksa dipanggil untuk membantu memberikan pertolongan kepada para pasien. Selain petugas medis, aparat kepolisian juga stand by untuk memantau kondisi korban. Di ruang IGD, tim medis dibuat sibuk melayani para pasien yang antre untuk diberi tindakan. Ruangan itu penuh sesak dan tercium bau tidak sedap. Pasalnya, sebagian pasien muntah-muntah di ruangan itu. Rata-rata pasien menderita gejala yang sama yakni badan panas, pandangan mata kabur, kepala pusing, lambung terbakar, dan lemas sekujur tubuh. Bagi pasien yang kondisinya terbilang kritis, langsung dirujuk ke Rumkit Bhayangkara Tingkat IV Indramayu Losarang. Sejumlah pasien mengaku datang atas inisiatif sendiri. Hal itu dilakukan setelah mengetahui 3 orang telah meninggal dunia sehabis menenggak minuman yang sama. “Botolnya sama, tapi kelompoknya beda-beda. Saya dengan empat teman ini,” ujar Candra (21) sambil menunjuk kawan-kawannya yang tergeletak lemas di ruang kelas II RSUP MAS. Sementara itu, mendapati banyak nelayan Eretan yang keracunan miras, aparat pemerintah, kepolisian beserta komponen masyarakat, langsung mendata para korban sekaligus mengevakuasinya ke RS. “Jangan sampai jatuh korban lagi. Lebih baik diselamatkan sekarang daripada terlambat,” ujar Maryadi (38) tokoh pemuda setempat. Semula kata dia, proses pendataan sulit dilakukan. Sebab, masih banyak warga khususnya yang pernah menenggak miras menolak memberikan pengakuan. Namun, setelah diberitahu telah ada warga yang meninggal dunia lantaran menenggak miras, akhirnya mereka mau dibawa ke RS. “Sepertinya belum semuanya terdata. Masih ada yang menutup-nutupi,” terangnya. PENJUAL IKUT JADI KORBAN Bukan itu saja, anak dan menantunya yaitu Warnadi (35) dan Agus (30) juga tidak luput dari petaka yang sama. Selain menjual, keluarga pedagang miras itu dikenal juga sebagai pemabuk berat. Sejak malam takbiran, kata wanita bertubuh kurus ini miras dagangannya laris manis dibeli orang. Bahkan, pembelinya juga datang dari sejumlah desa dan kecamatan tetangga. “Kalau Lebaran yang dicari ya miras,” katanya. Tradisi nenggak miras ramai-ramai di malam Lebaran itu, dimanfaatkannya untuk berbelanja kebutuhan pokok para penggemar teler. Karisem sendiri beserta keluarganya ikut merasakan betapa mabuknya setelah mencicipi barang yang dijualnya itu. “Saya nggak tahu kalau minuman itu beracun,” ucapnya lirih.
Bapak dua orang anak ini sekarat usai pesta miras bersama-sama rekannya dimalam Lebaran Rabu (1/10). Lantaran kondisinya gawat, pria yang sehari-harinya bekerja sebagai sopir truk di Rawa Bebek, Bekasi ini, menjalani perawatan intensif di ruang ICU Rumkit Bhayangkara Losarang. Menurut keterangan istrinya Carnesih (37), sebelum kejadian, suaminya sejak pagi berangkat kumpul dengan teman-temannya dan sore baru kembali pulang ke rumah. Bahkan, suaminya masih sempat bermain dengan kedua anaknya. “Sore masih ngajak jalan-jalan sama anak-anak. Pas magrib, tiba-tiba badan bapak panas, ngakunya pusing dan mual. Dan itu berlangsung sampai pagi,” ungkapnya kepada Radar saat dijumpai sedang menunggui suaminya. Dia mengaku tidak tahu kalau suaminya sekarat akibat menenggak miras beracun. Saat pulang ke rumah, tidak ada tanda-tanda suaminya habis teler. “Kalau pulang kampung, bapak biasa kumpul dengan teman-temannya. Nggak tahu ngapain,” kenangnya. Takut kejadian buruk menerpa, suaminya dilarikan Rumkit Bhayangkara Losarang. (kho/Radarcirebon) |
Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia selama ini, sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik. Dalam konteks bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu mengaktualisasi Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuatnya.
Sebagian anggota masyarakat yang menjadi responden jajak pendapat Litbang Kompas mempertanyakan kemampuan negara dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap kebijakan yang dihasilkan, terutama terkait kebijakan negara yang dinilai tidak pro-kesejahteraan sosial, seperti yang disebut dalam pasal terakhir Pancasila. Ini tercermin dari pendapat mayoritas responden (79,8 persen) yang menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil terhadap masyarakat.
Hasil Jajak Pendapat Kompas, yang diselenggarakan terhadap 860 responden di sepuluh kota di Indonesia, ini juga menunjukkan, ternyata cukup banyak orang yang lupa dan tidak hafal isi Pancasila. Saat responden diminta untuk membacakan lima sila dari Pancasila, sebanyak 90,8 persen hafal sila pertama.
Namun, saat dilanjutkan pada sila berikutnya, sedikitnya 27,8 persen lupa isi sila kedua, 23,8 persen lupa sila ketiga, dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila keempat. Juga, 28,8 persen lupa bunyi sila kelima. Jika hafal saja tidak, sulit untuk membayangkan warga memahami dan menghayatinya.
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini.
Ritual peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya yang dilakukan setiap tahun terus mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde Baru memaknainya sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia dalam tragedi 30 September 1965.
Keberhasilan menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat dan ABRI saat itu seolah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya penggeserannya sebagai dasar negara. Karena di hari setelah peristiwa G30S/PKI, 1 Oktober atau titik awal periode Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini gaungnya lebih kuat ketimbang peringatan atas hari lahirnya Pancasila.
Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi.
Rezim Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya penunggalan interpretasi juga dilakukan oleh negara terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali. Setiap organisasi massa dalam bentuk apa pun, termasuk organisasi keagamaan, wajib menjadikan Pancasila sebagai asas institusi mereka. Cap anti-Pancasila diberikan kepada mereka yang menolak asas tunggal Pancasila. Langkah ini dipercaya sebagai upaya memelihara Pancasila agar tetap sakti.
Ideologi atau bukan?
Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Kompas, 6/12/2001).
Rezim Orde Baru dianggap menyalahgunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk memberangus berbagai upaya dan tuntutan demokratisasi. Seperti diungkapkan Franz Magnis-Suseno (Kompas, 23/10/2005), Orde Baru menyimbolkan peristiwa G30S/PKI sebagai kekuatan anti-Pancasila. Cap PKI terhadap kelompok yang kritis terhadap pemegang tampuk kekuasaan di saat itu pun tak jarang digunakan sebagai alat pemberangus gerakan mereka.
Bahkan, pada sejumlah konflik antara negara dan rakyat, seperti kasus konflik pertanahan atau demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, simbol anti-Pancasila sering digunakan sebagai penyelesaian.
Indoktrinasi Pancasila sebagai sebuah kekuatan sakral nan sakti, yang kadung dilakukan selama periode Orde Baru, oleh sebagian kelompok dipercaya justru mendangkalkan pemaknaan terhadap Pancasila. Penafsiran tunggal atas dasar negara ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memperkuat otoriterianisme, sekaligus menutup pemahaman kritis terhadap Pancasila.
Rezim keterbukaan saat ini memang memungkinkan berkembangnya cara pandang baru terhadap Pancasila. Namun, di tengah berbagai pandangan atas peran dan posisi Pancasila yang berkembang saat ini, tampak satu garis merah yang disepakati bersama bahwa Pancasila, bagaimanapun, telah menjadi ciri khas dan jati diri bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Sebatas jargon
Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini sepakat, sebagai identitas bangsa, Pancasila tetap menjadi landasan terbaik berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden (96,6 persen) menyatakan, Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara. Sebanyak 92,1 persen menegaskan, Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa ini.
Meski demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Ini sangat mungkin dipicu oleh keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini.
”Bukan rakyat yang seharusnya dituntut memahami dan menghayati Pancasila, melainkan pemerintah yang dicerminkan lewat kebijakan yang dibuatnya,” kata Suzan (32), seorang responden asal Jakarta.
Warga Jakarta itu berpendapat, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan dari segala proses pembuatan kebijakan belum terlihat aktualisasinya. ”Bukankah dalam membuat kebijakan pemerintah harus sesuai dengan isi Pancasila? Lalu, kenapa banyak kebijakan negara yang sangat jelas tidak pro-keadilan sosial seperti disebut dalam Pancasila itu?” tanya Suzan.
Suara Suzan mewakili 74,5 persen dari 860 responden lain yang menyatakan, pemerintah belum mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Pancasila memang lebih banyak dipahami sebatas konsepsi politik. Pancasila lebih banyak digunakan sebagai jargon yang bias makna jika dihadapkan pada realitas sosial yang ada.
Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. (Litbang Kompas; kompas online; Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB )